Gegap gempita perhelatan Pemilihan Lurah (Pilur) di 33 kalurahan di Kabupaten Sleman telah usai pada Minggu (31/10/2021). Selebrasi kemenangan di pihak yang terpilih ataupun yang kecewa di pihak sebaliknya masih terasa.

Terlepas dari hal-hal yang berkaitan dengan respon positif maupun negatif, terdapat satu hal yang menjadi perhatian sekaligus menjadi tonggak sejarah dalam pelaksanaan demokrasi di Kabupaten Sleman, yaitu adanya Tempat Pemungutan Suara (TPS) Keliling atau TPS Mobile.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah demokrasi, digelar Pilur secara e-voting menggunakan TPS keliling yang mendatangi dari rumah ke rumah untuk memfasilitasi pemilih yang dipastikan tidak bisa mendatangi TPS di daerah setempat seperti lansia, sakit, berkebutuhan khusus, atau pun penyandang disabilitas lainnya.

Berdasarkan Peraturan Bupati Sleman Nomor 35 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Pemilihan Lurah secara Elektronik, setiap TPS Keliling melayani 10 TPS. Sesuai dengan peraturan tersebut, Kalurahan Donoharjo dengan 19 TPS Panpilur dibagi menjadi 2 kelompok.

Kelompok 1 melayani pemilih yang terdapat pada DPT di TPS 1 hingga 10 dan kelompok 2 melayani pemilih yang terdapat pada DPT di TPS 11 hingga 19. Dari pengguna TPS keliling yang diajukan oleh Ketua KPPS, di TPS kelompok 1 melayani 73 pemilih dan kelompok 2 sebanyak 21 pemilih.

“Jumlah yang tidak seimbang untuk waktu pelaksanaan yang sama yaitu pada jam 08.00 sampai dengan 14.00 meskipun pemilih yang telah terdaftar tetap dilayani sampai pemungutan suara selesai. Jumlah ideal menurut saya antara 25 sampai 35 pemilih per TPS untuk kontur tanah relatif datar seperti wilayah Donoharjo,” ungkap Desta Arum Wilansari, Ketua KPPS Keliling Kelompok 1.

Desta juga menyebutkan bahwa pihaknya mengalami kesulitan apabila terdapat pemilih dengan keterbatasan tidak didampingi oleh keluarganya, meskipun menurut peraturan boleh didampingi oleh KPPS.

“Kebanyakan pengguna TPS Keliling adalah lansia atau sedang sakit sehingga pendamping sangat dibutuhkan agar tidak memakan waktu,” ujarnya.

Dari segi perangkat e-voting yang terdiri dari laptop dan printer untuk mencetak hasil pilihan dirasa belum memadai, karena bagi lansia yang tidak familier masih kesulitan dan akan lebih mudah bila memakai layar sentuh.

“Printer sebaiknya memakai semacam baterai sebagai sumber energi yang  bertahan lama, jadi tidak memakan waktu karena harus mencari colokan listrik di tiap rumah pemilih. Memang telah disediakan UPS (Uninteruptable Power Supply) sebagai sumber listrik, tapi hanya bertahan beberapa menit,” ungkap Desta.

Tantangan medan juga menjadi kendala tersendiri apabila menemui gang sempit yang tidak bisa dijangkau dengan menggunakan kendaraan roda 4 maka petugas diharuskan jalan kaki sambil membawa peralatan e-voting. Jarak antar rumah yang jauh juga memakan waktu yang tidak sebentar saat pemungutan suara.

Selain itu, faktor cuaca juga menjadi pertimbangan, terutama saat musim hujan yang harus mempersiapkan perlengkapan untuk melindungi petugas dan perangkat e-voting.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah alat pelindung diri (APD) bagi KPPS mengingat bahwa mayoritas pengguna TPS Keliling adalah mereka yang memiliki penyakit.

“Memakai baju hazmat dan APD sangat diperlukan agar petugas terhindar dari penularan virus COVID-19. Tetapi, di sisi lain juga mengganggu karena panas, apalagi kita juga harus mengejar waktu,” ujarnya.

Terlepas dari kendala yang dialami di lapangan, inisiasi pengadaan TPS keliling adalah hal yang patut diapresiasi untuk menjamin hak pilih warga negara dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. (Upik Wahyuni/KIM Donoharjo)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *